Selasa, 30 Desember 2014

Seduhan di Persimpangan Liku



Hujan selesai mengguyur kota Semarang dan meninggalkan genangan-genangan di samping kiri dan kanan jalanan. Desember menyisakan beberapa hari saja menuju pergantian tahun. Selesaikan tahun dengan berbagai banyak cerita dan rasa. Tentang perjumpaan dan salam sampai jumpa lagi. Lembar berlembar menjadi sebuah antologi refleksi perjalanan sebagai manusia dan perjalanannya. Perjalananku.

Perjalanan yang selalu dimulai dengan satu langkah, yang kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah selanjutnya. Setiap langkah yang selalu memiliki cerita. Setiap langkah yang selalu berkesan. Setiap langkah yang selalu tertinggal di sebuah tempat. Langkah-langkah ini akan selalu terpatri dalam sebuah kenangan. 

Kembali, malam ini yang disebut kenangan terukir di ruang yang tak seberapa luas ini. Tempat pengab yang makin sesak oleh hawa manusia tak berotak manusia. Bagaimana tidak? Tak peduli kesendirian yang diderita, tak peduli beban yang ada, dan tak peduli rasa yang merasuk menghambat jiwa, semua tertawa. Di kamar kosan tanpa AC ini, begitu mereka menyebutnya dan ditemani seduhan aneka kopi daerah, aku kamu, dia, mereka, kita, hanya satu kata, menggila. Ruang 3x3m yang menyisakan tak seberapa luas tak lagi leluasa untuk menempatkan diri dengan posisi sempurna. Nyaman, mungkin itu yang dirasakan. Teman menjadi lawan, dan lawan kembali merangkul sebagai kawan ketika kegilaan tak terelakkan. Lupa, meluapkan segala rasa di luar sana yang mungkin menyesakkan. Ah kalian, jangan pernah bosan lanjutkan kegilaan. Seperti malam ini, lima manusia yang mengesampingkan gender dengan enggan menyebut satu makhluk dengan sebutan "wanita" ini sepertinya tak lagi peduli akan apa yang terjadi di luar sana. Hanya disini, apapun bisa terjadi atas nama kegilaan. Ya, semua bisa terjadi. Kotor? Itu pasti. Berantakan? Hanya jika ada kalian disini. Kesal? Sudah biasa. Tak wajar rasanya jika ruangan ini tetap sama ketika penuh sesak seperti ini.

Nulis Pancen Boros Kopi *kandhani og*

Gila, disaat semua mimpi menjauh dariku, aku bisa tertawa disini, aku lelah, tapi aku lepas. Ketika aku bersama di ruang sempit ini, aku lupa akan keadaan diluar sana, entah rasa itu muncul begitu saja. Aku teringat kembali akan perjuangan hidupku yang membisu, ketika aku berjalan sendiri tanpa kenangan, sudah lupakan sejenak drama kehidupan ini. Liku akan terus ada di persimpangan, aku akan terus maju melangkah dari lorong waktu yang ada, entah apa yang akan menyongsongku di depan, siap atau tak siap aku akan tetap melangkah, mengarungi apa yang ada didepanku.

Kopi yang aku seduh ternyata mampu menemaniku menggumamkan beberapa lagu. Bahkan akupun meneriakkan beberapa reff lagu yang mau tidak mau aku terhanyut dalam setiap makna yang semestinya itu hanyalah penggalan biasa saja. Malam dimana kali ini aku menanggalkan rutinitas akan mengingat pekerjaan sedari pagi hingga sore ini. Ataupun resah akan bagaimana mempersiapkan pekerjaan esok harinya. Malam ini aku hanya ingin bermain melankoli. Bermelankoli dengan cerita. Merenung bersama yang ada di kamar ini. Semoga penat ini benar-benar menguap dan pergi jauh ribuan kilometer dari sini. Jutaan cahaya dari ruangan ini.

Pekatnya kopi Solong dari Aceh ini tak hanya memabukkan, namun sukses menghanyutkan segala rasa yang ada. Lalu, semua terasa lupa akan siapa dirinya. Entah sampai kapan akan selalu seperti ini. Aku yakin semua kan ada masanya. Masa dimana semua kan pergi, masa dimana semua kan menjauh. Namun satu asa yang ingin selalu ada, kenangan. Kenangan yang tak mungkin dan tak ingin terhapus dalam benak manusia yang tlah singgah. Tawa, teriak, sedih, juga tangis pernah terjadi disini. Tuhan, jangan pernah hapus rasa dan kenangan yang pernah ada. Tak pernah tahu kapan dan akankah kembali terulang. Selama deretan toples penuh akan bubuk menghanyutkan, selama itu pula cerita akan tercipta. Semoga wangi aroma kopi selalu ada dan mengelilingi tempat para durjana ini melepas rasa. Sungguh tak kuasa membayangkan ketika tiba waktunya kelak. Waktu dimana hanya kenangan yang tersisa. Tak lagi ramai, tak lagi sesak, dan tak ada aroma wangi kopi yang membaur dengan asap tembakau yang dihembuskan. Sedih, itu pasti. Satu liku yang kan terasa seperti teriris sembilu. Namun apa dayaku ketika semuanya beku? Ngilu yang tak mungkin palsu. Ingin ku teriakkan,“Hei kalian! Tetaplah disini. Jangan biarkan kisah ini berakhir begitu saja. Tak inginkah kalian terus seperti ini? Menyeduh kopi walau hanya dengan air panas dispenser, cemilan yang tak seberapa banyak yang ada di dalam rak, menyegarkan tubuh penuh peluh kalian walau hanya dari seember air pancuran, merebahkan kepala kalian walau sekejap dalam keras dan dinginnya lantai dan dimana ada tempat yang tak seberapa luas untuk meluruskan tubuh kalian, lalu berceloteh bebas tentang hal bodoh sekalipun tanpa ada yang membatasi apapun yang keluar dari mulut kalian?" Ya, kuyakin liku yang tak akan pernah beku sekalipun oleh waktu.

Jelajahi Nusantara Melalui Kopinya

Waktu terus berlari, berganti, dan menari, seperti aku disini, di malam yang penuh arti, dimana alur cerita tak pernah ada tapi kita tetap bersama, dimana nafas menghela dan kita berkelana menuju alam nyata yang tak akan pernah terulang. Aku dan kalian beda, tapi aku dan kalian bisa melebur merebah bersama, meski hanya dengan seduhan kopi dari aroma khas pulau – pulau Indonesia. Kalian adalah asa, dimana aku berharap asa ini tak menjadi basa, basa yang tak mungkin ada rasa. Kita disini bercerita, dan kelak kita akan mengulas kembali. Dengan ditemani secangkir kopi di tangan tentunya. Semuanya.




Kamar pengab 3x3m, 29 Desember 2014 
*AlimAlettAdnanVaiCuss

Sabtu, 13 Desember 2014

Belum Sore

Barangkali pukul tiga sore belum dapat untuk dipanggil senja. Senja yang berarti langit dan awan semburat berwarna jingga dengan goresan hitam. Meninabobokan matahari untuk sejenak rehat, walaupun tahu matahari tak pernah lelah untuk menjalani pekerjaannya. 

Barangkali pukul tiga sore matahari memberikan suhu yang paling nyaman. Melayang kokoh di serambi langit, menebarkan senyumnya yang terhangat. Hingga pada saatnya malam datang, dia mulai muram. Malas dia menuju ketiak cakrawala untuk mengakhiri hari ini. Meredup perlahan, terhalang awan dan beberapa bayangan burung yang pulang kembali ke peraduan. Semua nampak hitam. Matahari nampak semakin angkuh oleh takdirnya.
Barangkali pukul tiga sore adalah waktu dimana matahari sangat menyilaukan jalan. Mengatakan bahwa dia masih mampu menerangi. Kita manusia jangan dulu mempersilakan lampu kota, kata matahari mungkin. Setiap kepercayaan membutuhkan selang tempo untuk dituai.
Barangkali pukul tiga sore adalah aku diusia ini. Usia menuju senja bagi seorang perempuan yang menikmati kesendirian. Sosok perempuan yang selalu dininabobokan untuk mengalah walaupun aku belum mau menyerah. perempuan yang akan selalu angkuh pada takdir yang tidak mesti harus dilayani dengan angkat tangan. Perempuan yang masih mampu membuktikan diri. Aku perempuan yang tidak mau seperti matahari saja.
Kosan tanpa AC, 13 Desember 2014