Jumat, 25 Maret 2016

Dipipisin Supir Jukung? Oh, No! Cuma Terjadi di Lampung!!

Setelah hampir 4 jam mengelilingi dan menikmati suasana di Pulau Kiluan serta bermandikan matahari di pasir pantainya, tepat jam 1 siang Pak Helmi kembali datang menjemput kami dengan jukungnya. Pak Helmi adalah supir jukung yang kami sewa selama di Kiluan untuk melihat lumba-lumba. Seperti janjinya, Pak Helmi akan mengantar kami ke pulau yang ada lagunanya. Mendengar kata "laguna" apa yang kalian pikirkan? Pasti suatu pemandangan yang indah bukan? Walaupun badan mulai gosong dan pliket karena kelamaan gegoleran berjemur di pasir pantai Pulau Kiluan, saya kembali bersemangat ketika Pak Helmi datang. Bukan karena bosan di Pulau Kiluan, tapi terlalu penasaran dengan laguna yang dimaksud oleh Pak Helmi. Sebelumnya, teman saya yang fotografer majalah travel Jakarta juga merekomendasikan kepada saya untuk mengunjungi laguna disana. Penasaran? Pasti.
"Kemana lagi ini kita Pak?" tanya Kak Ian begitu kami semua menaiki jukung.
"Ke Pulau itu, lihat laguna." jawab Pak Helmi sambil menunjuk ke arah pulau tak jauh dari Pulau Kiluan. Setelah Pak Helmi menyalakan mesin jukungnya, kamipun berangkat menuju pulau yang dimaksud. Sangat dekat jaraknya ternyata, hanya 10 menit saja dari Pulau Kiluan. Dengan hati-hati Pak Helmi merapatkan jukungnya dan menginstruksikan kepada kami semua untuk turun dari jukung. Seraya menunggu Pak Helmi memarkirkan jukungnya, kami berjalan pelan menyusuri jalanan tanah di pulau itu. Ternyata perkampungan disana cukup ramai. Sewaktu di jukung tadi, Pak Helmi sempat bercerita jika di pulau itu banyak homstay atau rumah warga yang sengaja disewakan. Tapi untuk hari itu dan dua hari ke depan sudah penuh semuanya. Ya iyalah, secara waktu kami kesana itu H-1 long weekend di awal bulan Mei 2015. Untuk long weekend itu, kebanyakan penginapan disana sudah di booking dari jauh-jauh hari.
...
"Mau pada makan dulu? Atau ngopi-ngopi?" dalam perjalanan menuju ke Laguna, tiba-tiba Pak Helmi berhenti di sebuah warung. "Kita daftar dan bayar karcis masuk lagunanya disini." ujarnya lagi. Kami semua berhenti dan masuk ke warung itu, sembari menunggu Pak Helmi mengurus tiket masuk kesana dengan suami yang punya warung. Mungkin si bapak itulah yang bertanggung jawab atas karcis masuk kesana. Kata Pak Helmi, laguna itu masih dikelola oleh warga setempat. Pantas saja jika mereka mengadakan karcis untuk masuk ke daerahnya untuk menuju laguna.
"Lagunanya masih jauh ga Pak?" sambil ngemil bakwan alias bala-bala saya iseng bertanya kepada Pak Helmi. "Lumayan, sejam." jawab beliau santai.
"Lah, jauh dong Pak sampai sejam gitu." kata Chandra menimpali. "Mayan juga yo, Cuk." ujar Dhevi sambil cengar-cengir melirikku.
Tau perjalanan ke Laguna yang lumayan jauh kami rasa, yang tadinya kami hanya duduk-duduk saja di warung itu sambil menunggu Pak Helmi mengurus tiket masuk, kami menyempatkan untuk mengganjal perut kami dengan cemilan dan aneka gorengan yang ada di meja. Memang benar ternyata jika Lampung itu penduduknya kebanyakan transmigran dari Jawa dan Bali. Itu terbukti ketika masuk di Kabupaten Pesawaran Prov. Lampung, sepanjang jalan di kanan kirinya banyak sekali pura dan rumah adat Bali. Rasanya seperti bukan sedang di Lampung, karena suasana Balinya kental sekali terasa di kampung itu. Dan ketika di warung itupun, mbak-mbak penjualnya logat bicaranya Sunda banget. Sempat saya dengar ketika tetangganya memanggil dengan sebutan "teteh" dan berbicara dengan bahasa Sunda. Ketahuan banget kan kalo ternyata aslinya adalah orang Sunda alias orang dari Jawa Barat.
...
"Engaaaaabb!" teriakku begitu menaiki jalan setapak menanjak. "Yakin ini mau ke pantai? Kok jalanannya nanjak gini? Ga ada tanda-tanda pantainya, malahan rasanya seperti masuk hutan." kataku dalam hati. Ya, perjalanan dari warung menuju laguna kami melewati jalanan cor semen yang menanjak, dan di kanan kirinya dipenuhi oleh pohon kopi dan kakao. Betis sama dengkul lumayan gemeter sih jalan nanjak begitu, apalagi saya hanya menggunakan sendal jepit swallow andalan saya.
"Enteni, Cuk!" teriak Dhevi memanggilku dari belakang. Dhevi memang jalan di belakang saya. Perasaan saya juga udah jalan pelan-pelan, tapi pas nengok ke belakang, ternyata Dhevi dan Chandra masih tertinggal jauh di bawah saya. Nahloh. 
Langsung langkah saya terhenti dan membalikkan badan ke arah mereka. "Ayoo semangat anak pantaaiii!!" teriakku menyemangati mereka. Jadi inget pas acara triphore @bpisemarang kemarin, ada yang bilang "Aku anak pantai cuk, bukan anak gunung makanya ga kuat kalo jalan nanjak-nanjak gini." Nah kan ini juga mau ke pantai? Masih mau protes? Cuma dikasih bumbu nanjak-nanjak dikit sih biar makin asik. Plettaaakk!! *langsung dijitak Dhevi. Hahaa...
Perjalanan yang lumayan juga menurutku, walaupun cuma 15 menit, tapi bikin dengkul goyang dan napas Senin-Kemis juga. Diujung tanjakan. Sudah terlihat garis pantai yang menawan. Barisan pohon kopi dan kakao berganti deretan kebun pisang dan jalanan tanah yang menurun cukup terjal. Walaupun di kanan kirinya ada pagar kayu untuk pegangan, tapi tetap saja harus ekstra hati-hati ketika menuruninya. 
Taraaaa!! Tulisan di papan kayu "Selamat Datang di Laguna Helau" yang terpasang di batang pohon besar menyambut kami begitu menginjakkan kaki di pasir putih pantainya. Subhanallah, sekali lagi saya berucap syukur akan keindahan pemandangan yang indah di depan saya. Pantai yang masih sepi, bersih, dengan pasir putih yang besar-besar dan deburan ombak besar menyapu bibir pantai dengan derasnya. Sejenak saya berhenti terpanana melihatnya sampai tak menghiraukan Pak Helmi dan yang lain sudah jalan mendahului saya. Sedang asik mengambil foto dan video selfie, tiba-ada yang teriak memanggil nama saya. Mereka mau kemana?
“Lah, mana lagunanya?” kata saya dalam hati sambil celingukan melihat sekeliling.
"Let, ayok!" seru Kak Ian memanggil saya dari kejauhan. Mereka terlihat berjalan menapaki batu-batu karang di sisi kanan pantai. Segera saya masukkan kamera dan hp saya ke dalam tas lalu bergegas menyusul mereka. "Tungguu!"
Ternyata eh ternyata perjalanan ke laguna masih panjang. Yang saya kira sudah berakhir di pantai itu, ternyata salah besar. Kami harus berjuang lagi untuk menapaki batu-batu dan bukit karang. "Mana lagunanya Pak?" tanya Dhevi yang terlihat sudah mulai letih berjalan. "Masih di depan sana, di balik karst itu." jawab Pak Helmi seraya berhenti menunggu kami semua naik. "Setengah jam lagi naik muterin bukit ini." tambahnya lagi. "Ayo Let, semangat. Pelan-pelan aja jalannya, licin." kata Kak Ian yang sesekali berhenti menunggu kami. 
Wow!! Jauh ternyata pemirsah! Dengan susah payah dan kaki telanjang pelan-pelan saya menaiki batu-batu yang tersusun melingkari bukit karang. Hampir setengah jam naik turun batu karang, akhirnya Pak Helmi menunjukkan laguna yang dimaksud kepada kami. Ya, tepat di tanjakan batu terakhir pemandangan mengagumkan terlihat. Pak Helmi menunjukkan tiga buah laguna yang ada disana. Kurang puas, saya menaiki batu besar yang lebih tinggi untuk melihat jelas ketiga laguna tersebut. Lagi, dan lagi terucap lafadz Subhanallah dari malut saya. Saat itu hanya kami berempat yang sampai di tempat itu. Tiga buah laguna yang sangat indah. Laguna pertama yang terbesar, laguna kedua yang tak begitu besar, dan laguna terakhir yang sesekali mendapat deburan ombak dari laut lepas. Terlihat di laguna besar airnya yang bening, dan terlihat ikan-ikan kecil disana. Sepertinya juga tidak terlalu dalam. Ingin rasanya segera menceburkan badan kesana menikmati kesegaran airnya.
"Boleh berenang disini Pak?" tanya Chandra yang langsung ngeloyor menuruni batu-batu menuju ke laguna pertama. "Gapapa. Nyebur aja. Barangnya taruh sini, saya tungguin."
Tanpa ba-bi-bu lagi, si Chandra langsung nyebur aja di laguna yang paling besar. Hmm.. Segar sepertinya nyemplung dan berenang disana. Apalagi saat itu disana masih sepi, hanya kami berlima saja di laguna yang besar itu.
“Sana loh pada nyemplung, aku tak disini aja nemenin Pak Helmi.” Seru Kak Ian sambil menyalakan rokoknya. “Tak potoin dari sini, mana kameranya?” teriaknya lagi.
Asik berenang dari laguna satu ke laguna yang lain, sampai ketiga lagunanya awalnya kami masih ketawa-ketiwi aja menikmati kesegaran airnya dan asik nguber ikan-ikan kecil yang ada disana. Sampai saya kembali masuk ke laguna yang paling besar, tanpa sengaja kaki saya menginjak karang dan rasanya seperti tertusuk sesuatu di bawah sana. Damn!! Bulu babi! Benar saja, ketika saya angkat kaki kanan saya, di telapak kakinya sudah ada beberapa bulu babi yang masih tertusuk menempel di sana. Perih, dan terasa panas. Pelan-pelan saya berenang kembali ke pinggiran dan menaiki karang. Kak Ian dan Pak Helmi menghampiri saya, melihat kondisi saya.
“Wah, itu harus dikasih air kencing biar ilang bulu babinya.” What!! Ketika saya berusaha mengeluarkan bulu babi dari telapak kaki saya, tetiba Pak Helmi nyeletuk begitu. “Air kencing? Dipipisin gitu, maksudnya?” tanyaku kembali pada Pak Helmi. “Iya, dikasih air kencing biar lepas semua bulu babi yang masuk di dalam kulitnya.”
“Iya, Let. Bener itu kata Pak Helmi.” Chandra menimpali sambil melihat kakiku.
“Harus banget pake air kencing emang?” tanyaku masih ga yakin. Masa iya pake air kencing obatnya? Belum pernah denger juga sih aku cara ngilangin bulu babi tuh pake air kencing. “Iya, kok ngeyel sih kamu.” Huft.. Rasanya pengen banget jitak kepala si Chandra ini, dari kemaren rasanya dia ngemusuh banget sama saya. Seneng banget kayaknya kalo saya susah begini.. Hiks. “Pipis gih, Let. Trus pipisnya dibalurin ke kakimu.” Tambah Kak Ian.
“Tapi Alett ga pengen pipis, Kak. Mana bisa?” jawabku memelas. “Kalian aja deh, ada yang mau pipis ga? Gapapa deh, pipis siapa juga.” Dan semuanya serentak menggeleng tanda mereka tak bisa memberikan air kencing mereka untuk mengobati kakiku. Lemas seketika melihat gelengan kepala mereka, mana kaki juga semakin panas rasanya. “Ya sudah, sini pake air kencing saya.” Tetiba Pak Helmi muncul dari belakang karang sambil membawa botol bekas air mineral dengan di dalamnya terdapat sedikit cairan berwarna kuning yang artinya itu air kencing dia. Oh, God... Dan tanpa basa-basi lagi, Pak Helmi langsung memegang kaki saya lalu seeeeerrrr... menumpahkan air kencingnya sedikit demi sedikit dari dalam botol ke telapak kaki saya yang terkena bulu babi. Aiiihhh... Saya melihat muka teman-teman saya terlebih si Dhevi sedikit bergidik menahan jijik mungkin. Heuu.. Mimpi apa saya semalam sampai akhirnya kaki saya dipipisin supir jukung beginih. Sedikit jijik juga sih emang, tapi demi kesembuhan dari rasa panas gegara bulu babi akhirnya saya rela, ikhlas dan ridho juga disiram air kencing Pak Helmi. Tapi mungkin Pak Helmi benar, alhamdulillah pelan-pelan rasa perih dan panas di telapak kai saya makin mereda. Bulu babi yang tadinya masih menancap di kulitpun pelan-pelan keluar dari pori-pori kulit. Kaki saya pun semakin membaik. Tak lama, dengan sedikit tertatih kamipun kembali menyusuri barisan karang untuk kembali ke pantai dan menuju jukung kami. Hmm.. Terimakasih Pak Helmi telah berjasa mipisin saya. Jarang-jarang loh saya mau dipipisin orang seperti itu. #tutupmuka
Walopun dalam hati sedikit watir akan “aib” ini, karena pasti ini akan jadi bahan celaan si Dhevi dan Chandra pastinya suatu saat nanti. Hahaha. Tapi yasutraaalah yaa... Ini akan tetap bagian dari cerita perjalanan saya. So, selalu dinikmati saja pokoknya lah.. Hahaha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar